Subulussalam, 31 Mei 2025 — Dunia jurnalistik di Kota Subulussalam tengah diguncang konflik internal setelah Ketua Aliansi Wartawan Nasional Indonesia (AWNI) Kota Subulussalam, Maharudin Maha, dituding oleh sejumlah rekan seprofesi sebagai sosok yang tidak netral dan terlalu membela pihak pemerintah desa dalam berbagai persoalan publik.
Tudingan tersebut disampaikan oleh SPJ, seorang wartawan lokal yang merasa prihatin dengan sikap Ketua AWNI yang dinilainya cenderung membungkam kritik dan tidak mencerminkan peran organisasi wartawan sebagai pilar pengawasan dalam demokrasi.
“Ngacalah kau woiii…! Pemerintah desa seharusnya tidak takut kepada wartawan jika mereka menjalankan tugas dengan transparan dan sesuai aturan,” ujar SPJ dalam pernyataannya yang disampaikan pada Sabtu, 31 Mei 2025.
Menurut SPJ, wartawan memiliki fungsi penting sebagai pengawas sosial yang bertugas mengungkap kebenaran, bukan justru terkesan menjadi juru bicara pemerintah.
“Jika pemerintah desa bekerja dengan baik, tidak ada yang perlu ditutupi. Tapi jika ada pelanggaran atau penyimpangan, justru wartawanlah yang seharusnya berada di garis depan untuk mengungkap dan memperbaiki situasi,” katanya menambahkan.
Nama Dicatut Tanpa Konfirmasi, Khadafi Merasa Dilecehkan
Di tengah memanasnya situasi tersebut, Muhammad Khadafi, seorang wartawan lainnya, juga mengaku merasa dirugikan akibat penyebaran foto dirinya yang beredar di media sosial dan platform berita lokal tanpa konfirmasi terlebih dahulu.
Foto Khadafi disebut-sebut muncul dalam pemberitaan yang berkaitan dengan pernyataan Maharudin, yang diduga menyudutkan dirinya secara tidak proporsional. Pemberitaan itu juga sempat viral di sejumlah grup WhatsApp wartawan dan warga Subulussalam.
“Saya terkejut melihat foto saya tersebar di media dan grup WhatsApp, disertai narasi yang tidak pernah saya konfirmasi. Ini mencemarkan nama baik saya dan mempermalukan saya secara pribadi dan profesional,” ungkap Khadafi.
Khadafi menuding pemberitaan tersebut sebagai bentuk character assassination yang dilakukan oleh oknum wartawan yang tidak bertanggung jawab. Ia secara khusus menyebut dua nama: Ramona, wartawan dari salah satu media online lokal, serta Maharudin Maha, Ketua AWNI itu sendiri.
“Saya menilai berita itu mengandung unsur hoaks, fitnah, dan niat sabotase. Ini berbahaya bagi integritas profesi wartawan. Jika wartawan saling menjatuhkan, bagaimana publik akan percaya kepada pers?” tegasnya.
Pentingnya Etika dan Klarifikasi dalam Jurnalistik
Perseteruan antarwartawan ini dinilai mencoreng marwah profesi jurnalistik yang selama ini dijunjung sebagai pilar keempat demokrasi. Di sisi lain, Khadafi juga menyayangkan tidak adanya upaya konfirmasi atau right of reply dari pihak-pihak yang memberitakan dirinya.
“Etika jurnalistik itu penting. Konfirmasi adalah hal mendasar dalam setiap laporan berita. Tanpa itu, berita bisa berubah menjadi alat propaganda atau bahkan senjata untuk menjatuhkan pihak tertentu,” ujarnya.
Khadafi berharap agar ada klarifikasi terbuka dari para pihak terkait, serta investigasi internal oleh organisasi wartawan di Subulussalam untuk memastikan profesionalisme tetap ditegakkan.
“Ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang martabat wartawan Subulussalam secara keseluruhan. Jangan biarkan oknum merusak kepercayaan publik terhadap media,” pungkasnya.
AWNI dan Pemerintah Desa Diminta Jaga Transparansi
Menanggapi situasi ini, sejumlah pihak menyerukan pentingnya hubungan sehat antara media dan pemerintah desa. Pers harus tetap kritis, namun objektif dan berimbang. Sebaliknya, pemerintah desa juga harus membuka ruang komunikasi dan transparansi kepada media sebagai mitra pembangunan, bukan sebagai musuh.
Polemik ini diharapkan menjadi momentum bagi insan pers di Subulussalam untuk kembali merefleksikan peran dan tanggung jawab mereka, serta memperkuat solidaritas antarwartawan demi menjaga integritas profesi jurnalistik di tengah tantangan zaman.